Hari Air Dunia 2017 Desentralisasi Air Limbah
Desentralisasi Air Limbah
Oleh Gede H. Cahyana
Air limbah (wastewater) adalah tema peringatan Hari Air Dunia, 22 Maret 2017. Tema ini dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan linier dengan program peningkatan sarana air minum dalam MDG’s (Millenium Development Goals) yang lalu. Setiap ada air minum atau air bersih pasti ada air limbah. Tidak kurang dari 85% air minum berubah menjadi air limbah. Apabila satu orang menggunakan 100 liter air perhari untuk minum, mandi, cuci, kakus, maka yang dibuang 85 liter per hari atau hampir tiga perempat gentong air di dapur. Volume air limbah ini bervariasi menurut lokasi geografis (tropis, subtropis), topografis (gunung, pantai), budaya, agama, pendidikan, dan status ekonomi.
PBB mengangkat isu tersebut untuk melindungi kesehatan masyarakat, mencegah perusakan sumber daya lingkungan dan degradasi perairan akibat kontaminasi air limbah. Hingga saat ini mayoritas air limbah domestik dibuang langsung ke badan air atau diresapkan ke dalam tanah. Begitu juga air limbah industri, menyebar dan mencemari tanah dan air, sekaligus kehilangan sumber nutrien dan zat kimia yang masih bisa dimanfaatkan lagi. Paradigma “olah-buang” ini hendaklah diubah pelan-pelan, bahwa air limbah bernilai tambah, baik air limbah tinja (black water, septic water) maupun air limbah cucian (grey water). Keduanya bisa digunakan untuk produksi pupuk, siram tanaman, halaman ruang terbuka hijau, air pendingin dan irigasi.
Angka Air Limbah
PBB mendeklarasikan bahwa akses terhadap air minum dan sanitasi (air limbah) adalah Hak Asasi Manusia dan didukung oleh 122 negara pada September 2010. Banyak negara di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Selatan yang berkutat dengan kesulitan air minum dan keburukan sistem sanitasi air limbah. Di Indonesia, menurut Kementerian PUPR, tingkat layanan total pengelolaan air limbah kurang lebih 56%. Ini pun dalam mutu pengelolaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang belum optimal, baik secara biaya ekonomi maupun efisiensi unit operasi dan prosesnya. IPAL sistem setempat (on-site) di wilayah perkotaan Indonesia sekira 72% sedangkan sistem terpusat (off-site) 2,33% di 11 kota di Indonesia. Adapun di perdesaan, dengan menggunakan jamban pribadi dan fasilitas umum mencapai 33%.
Angka 2,33% adalah angka yang sangat kecil dan hanya ada di sebelas kota di Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, Cirebon. Capaian ini menyatakan bahwa pengembangan IPAL dengan sistem terpusat menghadapi banyak kendala. Selain biaya investasi yang sangat mahal, halangan teknis terjadi akibat topografi atau bentuk muka tanah dan ada tidaknya badan air penerima (sungai) yang layak. Kebutuhan lahan pun menjadi demikian luas karena harus disiapkan di satu area lokasi. IPAL Bojongsoang misalnya, luas lahannya mencapai 85 hektar. Belum tentu kota lain mampu menyediakan lahan seluas itu di satu lokasi. Oleh sebab itu, solusi yang lebih tepat guna adalah desentralisasi.
Desentralisasi IPAL
Prinsip desentralisasi adalah mengelola air limbah di lokasi timbulannya. Pola ini bisa diterapkan di perumahan, apartemen, hotel, tingkat RT-RW, dan kelurahan. Rumah sakit, industri atau pabrik sudah banyak yang melaksanakannya, terlepas dari kualitas efluennya yang belum sesuai dengan baku mutu karena berkaitan dengan efektivitas unit proses dan operasinya. Pengawasan dan sidak dari badan atau dinas lingkungan yang bebas “tawar-menawar” akan membantu mutu air olahan IPAL mencapai baku mutu yang disyaratkan sehingga polusi berkurang dan sungai menjadi lebih bersih, sebagai hak asasi manusia.
Air efluen desentralisasi ini lebih berpotensi didaur ulang dan digunakan untuk kebutuhan kota, selain untuk air minum dan air untuk wudhu. Adapun warga bisa menggunakan kembali air limbah (grey water) cucian sayur, beras, piring, baju untuk menyiram halaman dan tanaman, terutama pada musim kemarau. Yang lebih mudah adalah hotel, apartemen, dan perkantoran di gedung bertingkat. Semua sarana air minum, air limbah, listrik, AC (air conditioning), taman, kebersihan dan banyak lagi yang lain sudah ada perusahaan yang mengurusnya. Tentu mudah untuk mengurus daur ulang air limbah ini.
Pemerintah daerah dan DPRD tinggal membuat peraturan daur ulang air limbah dan digunakan kembali untuk keperluan selain minum, mandi, dan wudhu. Hotel-hotel berbintang yang menggunakan banyak air tentu lebih wajib mendaur ulang air limbahnya. Ini dapat menghemat air bersih sekaligus memberikan hak kepada warga masyarakat yang memanfaatkan air tanah untuk kebutuhan sehari-harinya. Bisa juga dibuat peraturan tentang kewajiban hotel, apartemen dan entitas publik lainnya untuk mengolah air limbah domestik warga masyarakat di sekitarnya, terutama yang berdekatan dengan daerah kumuh (slum area) dan kelurahan padat penduduk. Bisa digunakan rumus ekivalensi penduduk terhadap jumlah kamar hotel-apartemen. Misalnya, setiap kamar hotel – apartemen ekivalen dengan 10 rumah di sekitarnya.
Bagaimana dengan warga yang menggunakan tangki septik? Ini sudah bagus, tinggal struktur dan konstruksinya yang diupayakan memenuhi persyaratan. Pemerintah berperan menyediakan instalasi pengolahan limbah tinja (IPLT), terutama di kota-kota. Pengusaha jasa sedot tinja harus didata dan diawasi agar membawa limbahnya ke IPLT atau ke IPAL yang disiapkan, bukan dibuang ke riul di pinggir jalan atau di sungai. Pemerintah intensif memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada warga yang masih menggunakan “bazooka”, yaitu pipa-pipa dari kamar mandi dan kakus yang berjajar di tepi sungai. Kelompok warga inilah yang harus menjadi prioritas dalam pengelolaan air limbah. Desentralisasi IPAL adalah solusinya. Selamat merayakan Hari Air Dunia. *
Harian Umum Pikiran Rakyat, 22 Maret 2017. Rubrik Opini.
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home