Spiritual PDAM a la Danah Zohar - Ian Marshall
Spiritual PDAM a la Danah Zohar - Ian Marshall
Oleh Gede H. Cahyana
Apa itu Spiritual PDAM? Melekatkan
kata spiritual pada PDAM tidak dimaksudkan untuk “mengagamakan” PDAM. Juga
tidak membahas isu agama dalam pengertian konvensional tetapi memaknainya
sebagai bentukan kata Latin spiritus
yang berarti memberikan kehidupan atau vitalitas pada sistem. Arah makna ini ialah
peningkatan kualitas sistem, menjadi lebih baik agar menguntungkan perusahaan,
pemilik, pegawai, dan direksinya.
Spiritual PDAM ialah upaya
menghidup-hidupkan PDAM, membangun ruh PDAM agar mampu bertahan (survive) lalu berkembang (growth). Spirit ini biasanya tercantum
dalam ungkapan visi-misinya. Masalahnya, bagaimana cara mencapai visi itu dan
bagaimana cara membawa misi perusahaan agar terus tumbuh, tak sekadar bertahan.
Dari sekian banyak caranya, ada satu cara yang biasa ditempuh, yaitu membuat
skala prioritas dalam setiap tugas dan rencana kerja. Ini lantas dibagi menjadi
empat kuadran (quadrant), yaitu mendesak
dan penting, mendesak dan tidak penting, tidak mendesak dan penting, tidak
mendesak dan tidak penting. Semua rencana kerja yang sudah dikuadrankan itu
kemudian dilaksanakan dan dievaluasi apakah terjadi perubahan posisi kuadran
selama proses kerjanya ataukah tidak.
Pola skala prioritas itu dapat dianalogikan
dengan pola Abraham Maslow, seorang psikolog yang merilis piramid kebutuhan pada
tahun 1960-an. Ia membagi dua kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dasar dan
kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar atau motivasi dasar ini dikatakannya setara
dengan kebutuhan yang juga dimiliki hewan sehingga disebut deficiency needs. Berikutnya ialah kebutuhan yang lebih tinggi,
yaitu kebutuhan pertumbuhan seperti penghargaan diri (self-esteem) dan aktualisasi diri (self-actualization). Berasal dari kata actualize yang berarti mewujudkan, aktualisasi menjadi isu kuat
yang berkembang di perusahaan, termasuk di PDAM. Ini diarahkan untuk mewujudkan
PDAM menjadi perusahaan yang sehat, berbalik modal (full cost recovery) dan berlaba.
Apa yang mesti dilakukan agar
tujuan PDAM tercapai? Pembenahan! Benahi manajemen dan sisi teknisnya lewat
pelatihan setelah diawali dengan pendidikan yang sepadan (matching) dengan bidang kerjanya. The right people on the right place, true position. Teori dan
praktik pelatihan tak dimungkiri bernilai penting bagi insan PDAM untuk
menambah ilmu, pemahaman, pengalaman dan tukar informasi antarinsan PDAM di
seluruh Indonesia. Ini perlu dilaksanakan berkesinambungan agar spiritnya terus
diperbarui, tetap menyala, tidak sekali jadi lalu mati. Yang disebut terakhir,
yaitu tukar informasi, bisa dicapai dengan memanfaatkan internet.
Piramid Maslow
Tak satu jalan ke Roma. Tak satu
jalan untuk membenahi perusahaan. Begitu pula, tak satu cara untuk menghidup-hidupkan
PDAM. Salah satu caranya, modifikasi Piramid Maslow dan pembenahannya
dilaksanakan secara mandiri. Piramid Maslow dapat diadopsi demi pembaruan spirit
PDAM. Modifikasinya dengan cara membalik Piramid Maslow sehingga puncak piramidnya
berada di bawah. Inilah resep yang disarankan Danah Zohar dan Ian Marshall setelah menelaah tulisan Frederick Herzberg (1959) yang membuktikan kekeliruan
teori Maslow.
Dengan pembalikan itu posisi puncak
menjadi di bawah dan harus ditempuh dulu sehingga aktualisasi diri menjadi kebutuhan
utama. Setelah itu barulah harga diri atau status. Karyawan
perusahaan membutuhkan status dan harga diri. Makanya, di perusahaan akan
terjadi kompetisi secara sehat maupun “sakit”, bahkan ada yang “main kayu”.
Karyawan, terutama yang memiliki semangat kompetisi akan selalu berupaya diakui
oleh sejawatnya, diakui atasannya. Inilah bentuk karakter dasar manusia yang
ingin lebih daripada orang lain. Tetapi ini bisa bernilai positif kalau arahnya
positif dan bersaing secara sehat lewat kompetensi dan kapabilitas. Di lain
pihak, atasan wajib menilainya secara objektif.
Berikutnya, sosial
atau relasi sosial kemanusiaan. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu ingin
berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi sosial ini pun sebetulnya
dilatari oleh beragam kepentingan, misalnya karir, jabatan, ekonomi, dan
pendidikan. Sudah sifat alaminya, manusia akan selalu berupaya membuat kelompok
yang setipe dalam tujuan, dalam kesenangan, hobi, dan pendidikannya. Di
perusahaan, dalam interaksi sosial ini, manusia berfungsi sebagai pengubah dan
pemberi pengaruh kepada koleganya. Manusia atau karyawan ingin memperoleh
pengakuan dari rekan kerjanya bahwa dirinya mampu dalam bidang tertentu dan
ingin ikut diperhitungkan dalam setiap kegiatan perusahaan.
Lantas kebutuhan rasa
aman. Maknanya demikian luas, tak hanya aman secara fisik tapi juga
psikis. Insan PDAM akan merasa aman bekerja kalau kebutuhannya dilengkapi perusahaan.
Ia akan dapat beraktivitas dan mengekspresikan dirinya dalam ujud kinerja
optimal. Rasa aman ialah perlindungan atau asuransi atas semua aktivitas
kerjanya. Andaikata terjadi kecelakaan kerja, ia percaya masih bisa berobat
karena perusahaan peduli dalam ujud Askes atau tunjangan kesehatan lainnya. Bahkan
keluarganya pun masih bisa aman karena ada uang pensiun atau tunjangan
pensiunnya cukup layak.
Rasa aman pun bisa masuk ke sisi
karir karyawan. Kejelasan karir dan penjenjangan dapat memicu karyawan yang tinggi
potensinya. Apa dan bagaimana posisi karir dan jabatannya sepuluh tahun ke
depan bisa diprediksi dengan tetap mengacu pada kualitas atau kinerja setiap
karyawan. Juga ada keyakinan bahwa tak ada kolusi dan nepotisme dalam promosi
jabatan, termasuk dalam penanganan projek. Jenjang karir pun jelas, terang
benderang dan dievaluasi berkala dengan menyertakan portofolio kompetensi,
misalnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Jadi, rasa aman ini akan
menyamankan insan PDAM yang ingin maju, terus bersekolah ke strata yang lebih
tinggi dan bersikeras mengembangkan perusahaan.
Yang terakhir ialah kebutuhan fisiologis.
Hirarki ini mengacu pada kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman. Tak
dimungkiri, setiap orang butuh makanan dan minuman atau dengan kata lain,
setiap orang pasti perlu uang untuk memperoleh semua kebutuhan nutrisinya, baik
untuk dirinya maupun keluarganya. Jika PDAM ingin berkembang, maka pemenuhan
kebutuhan ini wajib diperhatikan karena dapat mempengaruhi kinerjanya. Tak
bisalah orang lapar bekerja optimal, apalagi yang harus berada di lapangan
setiap hari, kena panas, debu, dan hujan sambil menyusuri jaringan distribusi,
memantau kondisi banjir di dekat bangunan intake atau mengukur debit flowmeter di atas sungai.
Piramid Maslow versi baru itu disebut
Spiritual Needs, kebutuhan yang
diarahkan pada nilai-nilai spiritual yang mampu menghidupkan manusia, baik
sebagai manusia (mankind) maupun
sebagai karyawan. Analogi serupa lantas digunakan untuk menganalisis Piramid PDAM
yang secara konvensional merujuk pada Piramid Maslow.
Balik Piramid PDAM
Piramid PDAM adalah posisi normal yang selaras dengan Piramid Maslow. Seperti Maslow,
Piramid PDAM itu ditempuh dengan melewati dasarnya dulu sebagai basic needs. Artinya, semua komponen P
(Pegawai), D (Desain), A (Area Servis) dan M (manajemen) harus dilaksanakan dulu
dengan optimal, baru kemudian memuaskan K (konsumen) yang berada di puncak
piramid. Evaluasi seperti ini memosisikan konsumen sebagai bagian akhir yang
mesti ditangani.
Paradigma baru tentang Spiritual
PDAM justru mengawali pembenahan perusahaan lewat konsumennya dulu. Melibatkan
konsumen berarti menghargai ide mereka tentang PDAM sekaligus mengakomodasi
gejolak ketakpuasannya atas layanan PDAM. Juga berarti menghargai kecerdasan
otak (IQ) dan emosinya (EQ). Selanjutnya, dengan pelibatan konsumen pada perbaikan
kinerja PDAM, demi menghidup-hidupkan PDAM, maka konsumen sudah menyumbangkan kecerdasan spiritualnya (SQ). Apalagi kalau PDAM merealisasikan aspirasi
konsumen, mereka pun merasa dihargai secara kecerdasan aspirasi (Aspiration Quotient, AQ). Konsumen pun,
baik pejabat publik maupun rakyat awam, dapat mendesak PDAM untuk mewujudkan
perbaikan layanan lewat kecerdasan dayanya (Power
Quotient, PQ).
Pelibatan konsumen atas masalah
di PDAM lebih mengarah pada nilai-nilai moral dan etika demi menghidup-hidupkan
PDAM. Dengan kata lain, pencapaian spirit PDAM dimulai dari pelanggannya. Pelangganlah
yang menghidup-hidupkan PDAM, bisa maju jika konsumennya peduli dan didahulukan
kebutuhannya sembari membelakangkan peran PDAM. Wajarlah muncul pendapat bahwa
posisi pelanggan lebih dominan dalam melestarikan PDAM. Tanpa pelanggan tak
mungkinlah PDAM bisa eksis. Siapa yang akan membeli airnya jika bukan
pelanggan? Makin banyak pelanggan, makin kuatlah pijakan PDAM. Barangkali
inilah sebabnya salah satu poin penilaian dalam Perpamsi Award adalah jumlah
pelanggan yang minimal mencapai 50.000 unit.
Pelanggan, dalam hal ini semua rakyat
Indonesia, bisa menjadi bos di depan lembaga legislatif. Pelanggan, apalagi
kalau bergabung dalam asosiasi, akan kuatlah posisinya dalam menekan DPRD agar
peduli pada PDAM sekaligus mempengaruhi eksekutif: bupati-walikota. Pada saat
yang sama, pelanggan yang terdiri atas orang-orang terdidik bisa ikut
memberikan masukan kepada DPRD berkaitan dengan PDAM. Sebab, di luar anggota
dewan, masih banyak orang Indonesia yang memiliki kompetensi dan kapasitas ilmu
yang memadai. Betapa banyak peneliti dan dosen yang kepakarannya tak diragukan
lagi, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, keamanan, pertahanan,
maupun rekayasa.
Pelanggan pun bisa menjadi
“polisi” yang mengawasi sumber air. Pelanggan dapat mengawasi pabrik dan
masyarakat agar tak mengotori air dan melindungi hutan sebagai zone
tangkap-resap (tangsap) air hujan. Termasuk menekan pemerintah dalam menetapkan
kawasan lindung demi kelestarian fungsinya sebagai zone tangsap. Kerusakan
daerah tangsap akan merusak kesinambungan suplai air baku dan yang rugi tak
hanya pelanggan, tapi juga PDAM. Pelanggan pun bisa menjadi “jaksa” yang
menuntut orang dan pabrik pencemar lingkungan dengan cara mendatangi pabriknya
tanpa anarkhistis. Begitu pun, pelanggan bisa menjadi “hakim” dengan
“mengadili” pabrik pencemar lingkungan lewat boikot atas produknya. Efek ini
kalau betul-betul dilaksanakan akan signifikan bagi penguatan sumber daya PDAM.
Oleh sebab itu, pelanggan dapat dianalogikan
dengan angsa dan aktualisasi PDAM sama dengan telur emas. Tujuannya ialah
menghasilkan telur emas. Kalau PDAM ingin terjadi aktualisasi hendaklah PDAM
memperhatikan angsanya (pelanggan). Inilah yang diistilahkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People
sebagai kesetimbangan P/PC (production/production
capacity). Makna falsafinya, pelanggan harus dirajakan dan cita-cita PDAM berupa
aktualisasi juga diindahkan, tanpa menelantarkan salah satunya. PDAM tidak boleh
hanya berpikir pada rencana aktualisasinya tanpa peduli pada pelanggan. Pada
saat yang sama, perlakuan baik pada pelanggan juga harus diimbangi dengan
perlakuan baik kepada orang yang melayani pelanggan, yaitu karyawan. Perlakukanlah
karyawan dengan baik seperti perusahaan yang memperlakukan pelanggannya dengan
baik.
Apabila hal di atas bisa
dilakoni oleh asosiasi pelanggan otomatis dinding piramid A, I, R dan T dapat
dicapai sehingga kualitas air menjadi Aman,
Isinya memenuhi kebutuhan, dan Rutin 24 jam. Lalu Tarifnya sesuai dengan kemampuan rerata pelanggan karena DPRD sudah
pula “dikuasai” rakyat (pelanggan). Suara rakyat, suara dewan. Dampaknya pasti
menguntungkan PDAM: P (Pegawainya) dibayar dengan layak dan ada
kejelasan karir sebelum pensiun. D (Desainnya) bisa dikembangkan menjadi canggih
untuk air tercemar berat karena punya dana akibat kemajuan yang dicapainya
sehingga luas A (Area servisnya) bertambah yang berdampak pada pola hidup higienis-saniter
dan penambahan laba perusahaan. Dengan keteraturan itu M (Manajemen) otomatis
membaik, apalagi mampu menerapkan reward
dan punishment atau carrot dan stick. Lantas perusahaan dapat membangun budayanya, corporate culture, yang mengedepankan
integritas dan kejujuran insan PDAM.
Contoh Spiritual PDAM yang
paling dekat dengan insan PDAM ialah instalasinya. Insan PDAM bisa belajar dari
unit koagulasi-flokulasi. Filosofi koagulasi ialah menyebarkan koagulan lalu
mendistribusikannya ke seluruh bagian air. Berasal dari kata Latin coagulare yang artinya drive together, berarti insan PDAM, baik
direksi maupun pegawainya mesti menyetir PDAM bersama-sama. Inilah spirit yang mungkin
terlupakan oleh insan PDAM. Berkoagulasi berarti menjalankan PDAM bersama-sama
dalam fungsi masing-masing, saling melengkapi dan mengarahkan (direktif)
perusahan agar hidup dan menghidup-hidupkannya.
Jika demikian, mengapa PDAM tidak
mencoba membalik Piramid PDAM dan pemerintah pusat, DPR mendukungnya lewat
undang-undang? Piramid mana yang posisinya terbaik? Yang normal seperti Maslow
boleh-boleh saja, yang dibalik seperti Zohar-Marshall juga bagus-bagus saja.
Yang penting adalah aksi (action), agar
didapat reaksi (reaction) positif
bagi PDAM dan semua pemangkunya (stakeholders). *
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home