Asas Pembangunan Lingk
ASAS-ASAS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP
PIDATO ILMIAH DALAM RANGKA DIES NATALIS KE XXV DAN
WISUDA SARJANA KE VIII TAHUN 2010 UNIVERSITAS KEBANGSAAN
DI AULA UNIVERSITAS KEBANGSAAN, BANDUNG, 16 OKTOBER 2010
oleh Prof. Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita
Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Dosen Fakultas Tekologi Industri ITB Teknologi Kimia
Dosen Sekolah Pascasarjana UPI Kajian Fenomenologi Nilai
Dosen Sekolah Pascasarjana UNAIR Ekonomi Islam
Dosen Fakultas Psikologi UNPAD Konsep Teknologi
Jalan Ganesha No. 10 Bandung 40132
Abstrak
Hipotesa keilmuan yang melandaskan diri pada keterbatasan sumberdaya alam karena pertambahan penduduk ternyata tidak benar dan mengingkari keyakinan kehadiran Kasih sayang dan Kemahadilan Allah Yang Mahakuasa. Keberlanjutan kehidupan manusia justru memerlukan pertambahan kehidupan lain, yaitu tanaman dan binatang, sehingga hipotesa keilmuan yang seharusnya diterapkan adalah memelihara dan menjamin terjadinya keseimbangan antara pertambahan penduduk dengan pertambahan tanaman dan binatang. Pertambahan kehidupan memerlukan ruang hidup untuk tumbuh, bergerak, menyimpan pasokan air dan udara sebagai sumber kehidupan. Dengan demikian dapat diidentifikasi adanya dua siklus utama yang berinteraksi kuat dalam suatu ekosistem yaitu siklus ruang dan siklus kehidupan, yang seharusnya menjadi sasaran semua upaya keilmuan. Rujukan hipotesa baru ini akan mencetuskan berbagai kegiatan ramah lingkungan dan ramah kehidupan, seperti pertanian, perindustrian, perekonomian, dan pengembangan wilayah yang ramah lingkungan. Dikemukakan pula tiga prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin keberlanjutan, yaitu paradigma keterkaitan alami (ekosistem), keterkaitan hayati (keanekaragam), dan keterkaitan insani (kesejahteraan). Ketiga prinsip dasar ini memerlukan pemahaman yang benar, utuh dan tulus pada semua tingkatan, namun penguasaan keterampilan dan penerapannya akan berbeda sesuai dengan kemampuan dan skala interaksi yang mampu dilakukannya. Ketiga prinsip dasar tadi sebenarnya sudah merupakan kearifan budaya lokal di Tatar Sunda, yang akan memelihara keberlanjutan peradabannya dengan mengacu prinsip siliasih, siliasah, dan siliasuh, untuk meraih predikat Siliwangi. Pengelolaan ketiga prinsip keterkaitan di atas merujuk polapikir kesinambungan yang memperhatikan struktur ekosistem untuk pengembangan infrastruktur alam dan buatannya, evolusi nilai pembudayaannya, dan pengembangan kelembagaan upaya penerapannya.
Penerapan hipotesa baru keilmuan pada olah lahan membuka inovasi penggunaan kompos sebagai generator siklus ruang dan mikroorganisme lokal (MOL) sebagai pemicu terjadinya siklus kehidupan, dan bangunan keterkaitan alami, hayati dan insani secara utuh mampu membuka paradigma baru penyuburan bumi untuk mewujudkan kesejahteraan penduduknya, khususnya bagi para petani.
Kata Kunci :
Hipotesa Baru Keilmuan, Siklus Ruang, Siklus Kehidupan, Keterkaitan Ekosistem, Keterkaitan Keanekaragaman, Keterkaitan Kesejahteraan, Model Budaya, Siliasih, Siliasah, Siliasuh, Siliwangi, Infrastruktur Alam, Infrastruktur Buatan, Siklus Udara, Siklus Air, Siklus Biomassa, Ekosistem Bioreaktor-Tanaman, Kompos, Mikroorganisme lokal (MOL), Intensifikasi Proses (PI), Production on demand (POD), Pendidikan Lingkungan Hidup
1. Hipotesa Baru Keilmuan
Hipotesa keilmuan yang melandaskan diri pada keterbatasan sumberdaya alam akibat pertambahan penduduk perlu dipertanyakan. Karena kalau hipotesa ini benar berarti Gusti Allah tidak adil, hanya memberikan yang lebih baik kepada generasi terdahulu, padahal keyakinan agama mengajarkan Kemahaadilan Allah yang melebihi batas waktu seperti itu. Lebih lanjut untuk mengatasi masalah terbatasnya sumberdaya alam ternyata banyak pilihan yang ditawarkan sebagai solusi ilmiah hanya menjadi sumber pembenaran ketidakadilan. Hal ini terjadi karena pengembangan ilmu yang menganggap dirinya harus bebas nilai, akhirnya tunanilai, dan sekuler.
Hipotesa keilmuan yang lebih benar yang mengacu adanya fenomena nilai harus dicari, dengan kembali mempertanyakan apalagi yang bisa bertambah di muka bumi ini selain manusia, karena memang jumlah tanah, air dan udara adalah tetap tidak bertambah. Ternyata yang bisa bertambah hanyalah tanaman dan binatang, sementara keberlanjutan kehidupan manusia justru memerlukan pertambahan kehidupan lain yaitu tanaman dan binatang. Sehingga hipotesa keilmuan yang seharusnya diterapkan adalah memelihara dan menjamin terjadinya keseimbangan antara pertambahan penduduk dengan pertambahan tanaman dan binatang.
Upaya untuk menambah tanaman dan binatang ilmu lama memberikan solusi dengan menambah luasan lahan sehingga terjebak pada hipotesa keterbatasan sumberdaya alam. Padahal yang diperlukan untuk pertambahan kehidupan adalah pertambahan ruang hidup untuk tumbuh, bergerak, menyimpan pasokan air dan udara sebagai sumber kehidupan, bukan pertambahan luas lahan. Fenomena rekayasa pertambahan ruang ini secara alami diajarkan oleh tanaman, yang tumbuh berdahan, bercabang dan beranting, menambah ruang hidup yang memberikan kesempatan hidup bagi banyak makhluk lain. Kemudian pada saat tanaman mati, dikompos lalu dikubur dalam tanah, memberikan banyak ruang kecil bagi kehidupan mikro di dalam tanah. Kehidupan kecil ini tidak akan ada kalau ruang hidupnya tidak disediakan, dan kalau kehidupan berskala kecil ini tidak ada maka kehidupan berskala besar pun tidak akan ada.
Dengan demikian dapat diidentifikasi adanya dua siklus utama yang berinteraksi kuat di alam ini yaitu siklus ruang dan siklus kehidupan, yang seharusnya kedua siklus utama ini menjadi sasaran semua upaya keilmuan. Rujukan hipotesa baru ini akan mencetuskan berbagai kegiatan ramah lingkungan dan ramah kehidupan, seperti pertanian, perindustrian, perekonomian, dan pengembangan wilayah yang ramah lingkungan.
2. Paradigma Keterkaitan Alami (Ekosistem)
Keterkaitan alami atau keterkaitan ekosistem mendefinisikan batas alam interaksi keberadaan seluruh unsur alam, makhluk hidup dan manusia lainnya dalam satu ruang alam yang sama. Bentuk keterkaitan ekosistem yang sering diungkapkan adalah fenomena globalisasi, suatu peristiwa alamiah yang menggeser pendekatan sistem terbuka menjadi sistem semitertutup atau sistem tertutup. Mengubah pandangan konsep nilai tambah ke nilai manfaat, yang meminimumkan masukan sumberdaya alam dan keluaran limbah, yang memelihara hak-hak alam sehingga kesinambungan dijamin oleh kompleksnya siklus rangkai manfaat, bukan oleh penguasaan hulu hilir sepenuhnya secara sepihak. Suatu siklus rangkai tertutup dari berbagai usaha yang saling terkait dirancang untuk memaksimumkan nilai manfaat dan meminimumkan penggunaan sumberdaya alam serta buangan limbahnya, yang sekaligus menjamin berlangsungnya semua aktivitas secara berkesinambungan.
Dalam bahasa sehari-hari pendekatan sistem terbuka dinyatakan dalam ungkapan “saya hanya peduli pada diri saya sendiri, karena yang lain bukan bagian dari sistem saya atau di luar sistem saya, yang penting bagi saya, harus membuat untung sistem saya saja, saya tidak peduli orang lain rugi”. Ungkapan kata akan berubah tatkala menggunakan pendekatan sistem semitertutup menjadi : “saya dan yang lain berada dalam satu sistem yang sama, sehingga saya dan yang lain harus sama-sama untung, saling menarik manfaat ”. Pernyataan terakhir ini identik dengan pesan kearifan budaya lokal Sunda: Siliasih, yaitu saling mengasihi karena berada bersama dalam satu sistem yang sama: sadulur, sasumur, salembur, dan seterusnya sesuai dengan skala interaksi keberadaannya.
3. Paradigma Keterkaitan Hayati (Keanekaragaman)
Secara alamiah penganekaragaman terjadi karena adanya interaksi multikomponen dan multiskala yang memiliki ciri khasnya masing-masing pada suatu ekosistem yang terdefinisi. Kehadiran banyak skala dan banyak pihak ini justru untuk saling menguatkan dan menstabilkan dinamika ekosistem pada tingkat efisiensi dan efektivitas yang paling baik untuk suatu ketersediaan sumberdaya tertentu, sehingga lebih menjamin berlangsungnya kesinambungan peradaban. Contoh alam paradigma ini diberikan oleh aliran air di sungai yang terlihat memiliki banyak pusaran besar atau kecil yang masing-masing berputar pada porosnya selain mengikuti aliran utama sungai itu sendiri. Keterkaitan keanekaragaman juga dapat ditunjukkan dengan cara putaran perekonomian mikro, makro dan global yang tidak bisa dibiarkan semata-mata hanya berputar pada satu poros perputaran ekonomi global saja, karena hal tersebut hanya akan menambah beban, memberatkan dan menyebabkan keruntuhan putaran ekonomi secara keseluruhan.
Hal yang sama juga terjadi pada fenomena perubahan iklim global akibat keseimbangan ekosistem pada skala mikro dan regionalnya tidak tercapai sehingga semua penyimpangan terakumulasi pada skala yang paling besar yang mengakibatkan terjadinya bencana yang semakin sering dan besar daya rusaknya. Inilah yang melahirkan kesadaran think globaly but act locally, berfikir harus dengan wawasan global tapi dalam bertindak harus dalam keterkaitan utuh setempat atau secara lokal. Memulai dari yang kecil, dari diri sendiri, pada saat ini juga.
Secara sosial-budaya paradigma ini merupakan upaya yang akan mencegah terjadinya sentralisasi dan penyeragaman yang selalu akan membuat kerdil dan tidak bertahan lama. Tuntutan kebebasan, otonomi dan perlindungan hak asasi manusia adalah bentuk pengungkapan paradigma ini dalam bahasa sosial-budaya, seperti juga ungkapan pesan kearifan budaya Sunda Siliasah, saling mendukung dan memberi peluang kebebasan untuk berkembang secara mandiri.
4. Paradigma Keterkaitan Insani (Kesejahteraan)
Keterkaitan kesejahteraan ditunjukkan dengan tumbuh-kembangnya ekonomi jasa secara eksponensial. Pentingnya usaha jasa ini dapat diukur dengan melihat kenyataan keberhasilan ekonomi di suatu tempat sangat ditentukan oleh usaha jasanya yang efisien dan efektif, hampir 70% kegiatan ekonomi adalah usaha jasa, peluang kerja yang dapat diciptakan sangat luas baik jenis maupun jumlahnya, raihan kesejahteraan yang diberikan dapat meningkatkan secara berarti dan merata di berbagai lapisan masyarakat, jauh lebih baik daripada sekedar pemerataan kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin, berkembangnya usaha jasa dalam masyarakat akan berdampak baik pada peningkatan layanan publik oleh masyarakat, yang berarti menciptakan privatisasi layanan publik secara spontan dan benar, serta menciptakan birokrasi pemerintahan yang lebih ramping sehingga efisien dan efektif.
Harapan kesejahteraan pada kesempatan kerja jasa menyangkut kemampuan atau keterampilan yang khas pada setiap individu atau kelompok, sehingga sebenarnya pengangguran itu tidak perlu terjadi bila keterkaitan usaha jasa bisa dibangun secara spontan, yang pada akhirnya juga akan membangun keterkaitan kesejahteraan manusia seluas mungkin. Kesempatan tersebut tentunya terbuka selama kualitas dan kemampuan diri manusianya tersedia dan memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Terbukanya peluang kesempatan kerja tidak karena ketiadaan melainkan karena kesiapan manusianya yang setiap saat dapat diantisipasi oleh pendidikan dan perencanaan kerja. Ekonomi jasa tidak dapat dipaksakan dengan kemampuan yang tidak teruji, melainkan timbul secara spontan karena kesiapan manusianya baik secara kemampuan maupun kemauan.
Demikianlah keterkaitan kesejahteraan timbul bukan karena membagi-bagikan uang atau kekayaan melainkan dengan keterbagian kesempatan kerja yang sesuai di antara manusia yang ada. Paradigma ini sangat mendasar bagi kemanusiaan, yang dalam pesan nilai kearifan budaya Sunda disebut Siliasuh, saling membuka peluang atau memfasilitasi agar semua orang dapat bekerja atau berkiprah sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan bersama, rempug jukung babarengan nyambut gawe sauyunan.
5. Kerangka Pikir Kesinambungan Struktur Ekosistem
Terdapat tiga aspek penataan yang diperlukan untuk menjamin kesinambungan, yaitu: Struktur Ekosistem, Perkembangan Nilai, dan Perkembangan Kelembagaan. Pemahaman ekologi sangat penting untuk dapat merancang struktur keterkaitan ekosistem. Keterkaitan ini akan menjadi operasional kalau ditunjang oleh infrastruktur yang diperlukan. Investasi infrastruktur sangat mahal, namun merupakan suatu kemestian, sehingga perlu dipahami dengan baik adanya infrastruktur alam dan infrastruktur buatan. Perbedaan mendasar dari infrastruktur alam dan infrastruktur buatan adalah pada keandalan proses alam yang harus ditegakkannya. Infrastruktur alam seperti hutan, sungai, danau dan sebagainya memberikan jaminan agar siklus alam yang dihasilkannya benar-benar ditunjang oleh proses alam yang tidak terpotong-potong sehingga biaya operasi dan investasinya dapat ditekan seminimal mungkin. Peran infrastruktur alam umumnya tidak tergantikan, sehingga infrastruktur buatan hanya dibuat untuk menguatkan peran infrastruktur alam, dan tidak akan pernah mampu menggantikannya. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur harus dimulai dengan penyelamatan atau pemulihan fungsi infrastruktur alamnya terlebih dahulu.
Dalam hal tertentu peran infrastruktur alam ini sangat menentukan sehingga bukan saja tidak tergantikan bahkan pengabaiannya akan menjadi sumber bencana, menutup peluang penambahan kapasitas dan peningkatan nilai manfaat, inilah yang biasa disebut dengan pusaka alam atau warisan alam, seperti puncak-puncak gunung, puncak-puncak bukit, lembah alam, hutan pantai, lorong angin, urat air dan lainnya yang secara kearifan budaya lokal yang sering dianggap keramat. Pengeramatan ini lebih bersifat metoda edukatif, karena seringkali makam yang dirujuk sebagai keramat hanyalah kuburan kosong belaka, semata-mata untuk mencegah agar para pengembang tidak merambah hingga ke puncak-puncak gunung atau bukit, dengan ditunjukkan seakan-akan wilayah itu sudah ada yang menguasai yang maha adil dan maha mengetahui, aya anu ngageugeuh.
Kearifan budaya Sunda membagi ketinggian topografis gunung atau bukit menjadi tiga bagian, yaitu : 1/3 pada bagian puncak merupakan wilayah hak alam tempat awan sumber air terikat, bagian ini sama sekali tidak boleh diganggu oleh aktivitas manusia, disebut leuweung tutupan; 1/3 pada bagian tengah merupakan hak kehidupan agar tanaman dan binatang dapat berkembang biak, disebut leuweung titipan; dan hak untuk manusia untuk memanfaatkannya secara komersial berada pada 1/3 bagian paling bawah, disebut leuweung baladaheun. Budaya Sunda mengartikan leuweung dengan penuh makna sehingga mampu menjamin kesinambungan dan keberlanjutan, tidak sebatas dengan apa yang disebut hutan yang bermakna terbatas. Oleh karena itu, tidak perlu kaget bila kearifan budaya Sunda menginginkan sebuah kota di leuweung bukan sekedar hutan kota. Tatar Sunda memang berbasis budaya leuweung, baik itu lahan pertanian, permukiman, desa, kota maupun infrastruktur buatan lainnya tidak boleh mengurangi atau meniadakan makna yang kaya dari leuweung, yaitu adanya keterkaitan alami, hayati dan insani yang paripurna. Memang peran infrastruktur alam hutan sebagai generator oksigen, air dan biomasa tidak terbantahkan, sehingga konsep hutan sebagai kawasan lindung harus dikonsepsikan lebih utuh lagi sebagai leuweung: leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak (no forest, no water, no future).
Sementara itu dalam penanganan infrastruktur pada umumnya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, menyangkut semua sektor aktivitas, tidak ada dominasi sektor tertentu, semua sesuai dengan manfaat dalam keterkaitannya; yang kedua adalah menyangkut cara menetapkan pilihan alat dan prosedur yang menjamin tercapainya interaksi keterkaitan; dan yang ketiga adalah inisiatif yang merupakan inti dari upaya pengembangan yang berkesinambungan. Jelas sekali bahwa tugas research and developement (R&D) pada dasarnya adalah mengelola inisiatif, terutama dari dalam yaitu dari sumber daya manusianya. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya manusia menjadi sangat vital.
Ketiga unsur keberlanjutan akan bermuara pada mutu kemampuan manusianya, bukan saja dalam inisiatif operasional namun juga dalam inisiatif pengembangan nilai atau pembudayaan, maupun pengembangan kelembagaannnya. Kemampuan orang seorang diri akan selalu terkalahkan oleh kemampuan terorganisir dalam kerjasama, misalnya dalam ketahanan dan kecermatan. Demikian juga nilai yang berkembang secara bersama dalam pembudayaan masyarakat akan lebih tahan dan lebih dapat diandalkan daripada peningkatan nilai individual semata.
6. Kerangka Pikir Kesinambungan Evolusi Nilai dan Kelembagaan
Jaminan agar proses keterkaitan berlangsung ke arah yang lebih utuh dan berkesinambungan adalah tumbuh-kembangnya kelembagaan yang terkait, yaitu lembaga pemberdayaan maupun lembaga pembudayaannya. Upaya pemberdayaan sekurang-kurangnya memerlukan tiga lembaga pemberdayaan, yaitu lembaga keuangan, lembaga pasar, serta lembaga penyimpanan dan penyampaian. Ketiga lembaga ini akan berbeda untuk setiap skala ruang dan waktu yang berbeda. Penggabungan kelembagaan secara vertikal untuk semua skala akan menghasilkan mekanisme sentralisasi dan penyeragaman yang bertentangan dengan paradigma multiskala atau keanekaragaman.
Lembaga keuangan terdiri atas lembaga keuangan mikro di perekonomian rakyat, lembaga keuangan makro di perekonomian nasional, dan lembaga keuangan dunia (mega) dalam perekonomian global. Keterkaitan vertikal yang sentralisasi di antara lembaga ketiga skala tersebut membuat praktik ekonomi sangat bergantung pada putaran global yang mengakibatkan kerentanan untuk mengalami krisis kemandekan.
Lembaga pasar juga seharusnya memperhatikan paradigma multiskala, sehingga antara pasar dunia, pasar regional, pasar nasional, dan pasar tradisional harus jelas perbedaan mekanismenya. Secara fisik pasar saat ini masih merupakan tempat tercampur baurnya berbagai kegiatan mulai dari tempat menjajakan, menyimpan hingga tempat tinggal pedagangnya sekaligus. Padahal dalam perkembangannya ke masa depan pasar bukan lagi untuk menjadi gudang atau pusat pengepakan barang melainkan akan lebih merupakan pusat pertukaran informasi, sementara barangnya sendiri bisa langsung dikirim dari gudang atau produsen ke konsumen. Pasar modern akan menjadi pusat informasi bagi putaran skala ekonominya, sementara pasar tradisional akan tetap bertahan sebagai sarana pertukaran barang sekaligus sehingga secara fisik perlu dirancang kembali agar fasilitas dan fungsi layanannya lebih cepat, efisien dan efektif.
Lembaga penyimpanan dan penyampaian, khususnya untuk barang, praktis belum dipahami secara luas terutama berkaitan dengan paradigma multiskala. Hilangnya pengertian lumbung rumah atau lumbung desa untuk putaran perekonomian desa juga adalah akibat hilangnya kesadaran akan keberadaan paradigma multiskala. Upaya pembudayaan atau evolusi nilai merupakan upaya untuk proses kesinambungan yang akan berfungsi membangun kepekaan aspiratif untuk meningkatkan potensi manfaat. Upaya ini juga sekurang-kurangnya memerlukan tiga lembaga, yaitu lembaga keyakinan, lembaga silaturahmi dan lembaga pembelajaran atau pendidikan.
Lembaga keyakinan berfungsi seperti bank aspirasi yang akan memelihara arah evolusi nilai mulai dari keyakinan ilahiyah (ketakwaan, moralitas dan akhlak) menjadi aspirasi keikhlasan dan kearifan yang lebih operasional dalam aktivitas pembudayaan sehari-hari.
Lembaga silaturahmi atau kenduri berfungsi seperti pasar aspirasi untuk membangun nilai kebersamaan dan sinergi secara berkesinambungan dalam aktivitas pembudayaan sehari-hari. Lembaga pembelajaran berfungsi sebagai gudang dan wahana perpindahan aspirasi, tempat tumbuh kembangnya aspirasi secara berkesinambungan dalam aktivitas pembudayaan sehari-hari.
7. Model Budaya Pengelolaan dan Pendidikan Lingkungan Hidup
Model budaya akan menjadi sumber inspirasi dan aspirasi bagi tumbuh kembangnya kreativitas dan evolusi nilai dalam pendidikan sehari-hari. Tanpa sumber inspirasi dan aspirasi, pendidikan menjadi hanya sebatas mesin produksi atau infrastruktur ekonomi semata, bukan merupakan bagian dari ruh kesinambungan membangun peradaban kemanusiaan. Produknya hanya akan berupa keangkuhan ilmu dan miskin manfaat, baik secara individual maupun profesional.
Membangun model budaya merujuk langkah berikut:
1. Mengidentifikasi ciri kunci budaya;
2. Mendefinisikan lingkup wilayah;
3. Menciptakan budaya kerja sendiri;
4. Mengevaluasi dengan memperbandingkan terhadap standar global;
5. Menyempurnakan dan percepatan dengan koreksi pada langkah 1, 2 dan 3.
Ciri kunci budaya bagaikan unsur genetika dalam kehidupan, artinya merupakan ciri hidup, daya hidup, bahkan mencakup penangkalan terhadap potensi penyimpangan karena semua kecenderungan telah terpetakan dalam ciri kunci budaya ini. Ciri kunci budaya Sunda yang sangat berharga untuk upaya ini adalah rujukan siliasih, siliasah, dan siliasuh yang sebenarnya merupakan kesadaran keterkaitan ekosistem (globalisasi), keterkaitan multiskala (keanekaragaman), dan keterkaitan kesejahteraan (ekonomi jasa), yang sangat sesuai dengan rujukan pendidikan pascamodern membangun keterkaitan alami, hayati dan insani, yang diharapkan mampu memberi dasar kemampuan bersinergi saling mewangikan, siliwangi.
8. Konsep Alam Cerdas Indonesia
Fenomena pergeseran lempeng bumi di Indonesia dan kerentanan pergerakan tanah di Jawa Barat memberikan kesadaran akan konsep alam cerdas pertama yang harus dipahami, karena akan melandasi rancangan peradaban kemanusiaan yang akan dibangun di Nusantara. Kearifan budaya Sunda sudah merespon dengan baik kenyataan alam ini dengan membangun rumah-rumahnya menggunakan material bambu yang ringan dan lentur, dan tidak meletakkan pemukimannya di lereng bukit yang labil sehingga mampu meredam bencana ketika gempa bumi terjadi. Kealfaan akan hal ini mengundang bencana alam yang besar dan memaksa penduduknya untuk mengkaji ulang ketahanan papan dalam perjalanan peradabannya.
Konsep alam kedua adalah pergerakan aliran udara dan air di Indonesia yang dalam kenyataan alamnya berpulau-pulau besar-kecil dan banyak, yang terbentang di antara dua benua dan dua lautan serta dilintasi garis khatulistiwa. Hal ini menempatkan Nusantara sebagai pusat sirkulasi udara dan aliran air di muka bumi yang terjadi secara bersamaan yang akan berperan penting dan memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi dalam perubahan iklim dan cuaca di dunia, baik global, regional maupun lokal. Sangat layak Indonesia ditempatkan di bagian tengah peta dunia sebagai pusar dunia sehingga mampu menyadarkan masyarakat global maupun lokal akan peran penting alami Nusantara dalam membuka peluang kehidupan di muka bumi ini.
Konsep alam ketiga berkaitan dengan kenyataan percepatan pertumbuhan berbagai jenis kehidupan yang tinggi di alam Indonesia. Sesungguhnya hipotesa keterbatasan sumber daya karena pertambahan penduduk, tidak sepenuhnya benar. Kehidupan manusia justru memerlukan kehidupan lain yaitu tanaman dan binatang, sehingga hipotesa yang harus diambil adalah menjamin terjadinya keseimbangan pertambahan penduduk dengan pertambahan kehidupan lainnya. Pertambahan kehidupan tidak semata-mata memerlukan luas bidang lahan sebagai pijakan, namun memerlukan ruang hidup untuk menjamin tersedianya aliran air dan udara sebagai sumber kehidupan. Indonesia dapat diidentifikasi sebagai tempat terjadinya interaksi kuat dua siklus utama ekosistem yaitu siklus kehidupan dan siklus ruang.
Contoh alam adanya keterkaitan siklus ruang dan siklus kehidupan ini adalah penggunaan kompos sebagai generator siklus ruang pada olah lahan pertanian. Penggunaan kompos pada tanah merupakan input ruang, terutama ruang berskala mikro dalam jumlah yang banyak dengan bentuk dan ukuran yang beraneka, dan bisa berubah dari waktu ke waktu secara berkelanjutan, yang disebut sebagai siklus ruang. Struktur ruang intensif ini memungkinkan sekaligus fasilitasi air, udara, perkembangan perakaran dan kehidupan biota tanah yang akan berada dalam ruang hidup tersebut secara bersamaan dan berketerkaitan, menyelenggarakan intensifikasi proses dan mekanisme production on demand.
Rekayasa ruang dalam tanah ini hanya bisa dilakukan oleh kompos yang mengandung unsur keanekaragaman dan merupakan bahan organik, tidak oleh butiran tanah yang homogen. Ruang antarpori, antarakar, dan antaragregat dalam tanah lebih diperkaya oleh rekayasa ruang yang dilakukan, sebagai pabrik mikro dengan segala fungsi ruang dan prosesnya. Jumlah dan keanekaragaman hayati yang hidup dalam ruang ini berfungsi sebagai para pekerja pabrik nutrisi bagi tanaman atau mahluk lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan biota tanah ini dipicu oleh semaian mikroorganisme lokal yang diaplikasikan pada ruang hidup dalam tanah yang telah tersedia. Sistem kehidupan dalam ruang dalam tanah tersebut kemudian berkembang menjadi suatu siklus kehidupan yang pada gilirannya merupakan suatu siklus nutrisi yang sangat handal di mana tanaman itu sendiri berada di dalamnya.
9. Peran Hutan dan Semak Belukar sebagai Infrastruktur Alam
Sejalan dengan peran kompos sebagai generator siklus ruang mikro dalam tanah maka peran tanaman besar adalah sebagai pemicu siklus ruang pada skala makro untuk menegakkan fungsi konservasi baik di hutan maupun di kebun. Keberadaan tanaman besar yang bisa mencapai ketinggian dan diameter naungan tanaman hingga 10 meter, bercabang banyak dan berdaun lebat dengan ukuran perlembar daun hingga 11-12 cm, maka tanaman besar akan mampu berfungsi sebagai tajuk puncak atau kanopi utama tutupan hutan, yang memungkinkan fasilitasi siklus kehidupan yang lebih banyak dan beraneka ragam. Dalam kerangka pikir kesinambungan yang seutuhnya, aplikasi tanaman seperti ini akan membangun ekosistem skala makro sebagai infrastruktur alam untuk menjamin keberlajutan pada skala ekosistem berikutnya yang lebih kecil.
Terdapat dua jenis infrastruktur yaitu infrastruktur buatan seperti jalan, jembatan, bangunan, bendungan, dan infrastruktur alam seperti hutan dan semak belukar, danau, sungai, lembah, puncak-puncak bukit, dst. Hal pertama dan utama yang harus direalisir adalah infrastruktur alam, karena infrastruktur buatan tidak akan pernah bisa menggantikannya melainkan hanya untuk memperkuat dan menambah manfaat dari peran infrastruktur alam itu. Dalam kegiatan pertanian untuk pencapaian semua sasarannya peran infrastruktur alam sangat menentukan. Semua masukan primer sistem semitertutup pertanian baik pada skala tanaman, skala kebun, maupun skala global sumbernya hanya dari infrastruktur alam hutan dan semak belukar. Terdapat tiga peran hutan dan semak belukar yang tidak tergantikan, pertama sebagai generator siklus oksigen, kedua sebagai generator siklus air, dan ketiga sebagai generator siklus karbon atau biomassa yang akan menjadi sumber bahan kompos dalam jumlah yang senantiasa tersedia dan dalam ketersebaran yang diperlukan, sebagai pembangkit siklus ruang dan siklus kehidupan untuk kegiatan pertanian.
Hutan dan semak belukar, terutama di puncak-puncak bukit dan gunung merupakan generator siklus air yang sangat andal. Tiga perempat dari hujan yang jatuh di hutan dan semak belukar akan kembali diuapkan sebagai awan yang menggantung di atasnya, sementara seperempatnya secara berkesinambungan akan diatur sebagai pasokan air yang ke luar sepanjang tahun dari mata air. Jadi gudang air yang sebenarnya adalah di awan di puncak bukit dan gunung itu, yang hanya bisa dikendalikan dengan menurunkan temperatur muka bumi dan memanfaatkan pengaruh topografi bumi terhadap aliran awan rendah tersebut. Satu-satunya upaya untuk dapat melakukan itu adalah dengan menjaga hutan dan semak belukar dalam ruang yang memadai di puncak bukit dan gunung, lembah dan daerah-daerah antarmuka di mana awan dapat ditimbulkan.
10. Keterkaitan Ekosistem Multiskala
Sebaiknya digunakan istilah ekosistem bukan lingkungan. Dengan istilah lingkungan seolah-olah ada sistem dan ada bagian di luar sistem yang disebut lingkungan, padahal yang dimaksud adalah baik sistem maupun lingkungannya dianggap sebagai satu sistem bersama. Jadi lebih tepat menganalisis keterkaitan ekosistem, bukan analisis dampak lingkungan. Analisis dilakukan sebelum intervensi terhadap ekosistem dikerjakan. Sasarannya adalah menjamin kesinambungan ekosistem, memelihara ketersediaan, dan menambah manfaat.
Contoh alam suatu ekosistem adalah ekosistem tanaman dengan bioreaktornya. Pengendalian sistem semi-tertutup antara tanaman dengan bioreaktornya dalam tanah dengan siklus ruangnya dilakukan oleh tanaman itu sendiri dengan menggunakan mekanisme eksudasi. Eksudat yang secara fisik berupa bahan kimia padat atau cairan adalah komunikator antara tanaman dengan sistem biota dalam bioreaktornya (siklus kehidupan), sehingga terjadi kesesuaian antara bahan yang diperlukan oleh tanaman dan bahan yang diproduksi oleh biota tanah. Siklus kehidupan dalam tanah cenderung menghasilkan jenis nutrisi tertentu sesuai dengan interpretasinya atas informasi yang dibawa oleh komunikator yang berasal dari tanaman secara berkesesuaian dan berkesepadanan. Oleh karena itu penggunaan bahan kimia (buatan) terhadap tanaman baik sebagai pupuk maupun pestisida harus dihindarkan, terutama untuk menjaga agar tidak terjadi persenyawaan kimia yang akan mengikat dan menghilangkan fungsi bahan komunikator sehingga informasi dari tanaman tidak dapat sampai kepada kehidupan di dalam tanah, yang akhirnya baik tanaman maupun kehidupan dalam tanah hidup sendiri-sendiri tanpa sinergi dan memutus siklus kehidupan yang seharusnya berfungsi sebagai siklus nutrisi yang dapat diandalkan.
Dalam sistem semitertutup kriteria yang diukur bukan lagi nilai tambah, melainkan nilai manfaat yang didasarkan pada pertukaran aliran di dalam sistem, yang secara termodinamika merujuk neraca exergetik. Terlihat pada ekosistem skala yang pertama (N1) mencakup interaksi antara tanaman dengan bioreaktornya, maksimasi keluarannya berupa produk panen buah didasarkan pada maksimasi masukan berupa make-up kompos yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan pemahaman di lapangan, karena kegiatan pertanian tidak pernah menghasilkan panen NPK tetapi memanen CxHyOz berupa pati atau gula atau selulosa dan sebangsanya. Berarti kalaupun ada input yang diperlukan maka seharusnya adalah penambahan CxHyOz juga. Berupa penambahan C sebagai kompos yang selain berfungsi sebagai generator siklus ruang juga berfungsi sebagai sumber C yang memberikan pasokan energi dan gas CO2 secara setempat pada jumlah dan kecepatan yang bersesuaian dengan kebutuhan tanaman. Penambahan H diberikan berupa ketersediaan air yang tersimpan dalam ruang mikro dalam kompos, dan penambahan O berasal dari udara yang bisa masuk ke dalam ruang mikro di dalam kompos juga. Sementara kebutuhan NPK dan nutrisi mikro dipenuhi sepenuhnya oleh siklus kehidupan yang beranekaragam yang tumbuh dan berkembang dalam siklus ruang yang diciptakan oleh penggunaan kompos, yang merupakan siklus semitertutup antara tanaman dengan bioreaktornya.
Pada ekosistem skala yang kedua (N2) mencakup bumi dan cahaya matahari yang masuk ke dalam atmosfer bumi yang juga merupakan sebuah sistem semitertutup. Dengan masukan cahaya matahari inilah biomassa berupa hutan dan semak-belukar dapat tumbuh dan berkembang sebagai sumber bahan kompos untuk menciptakan siklus ruang di dalam tanah, yang pada gilirannya memfasilitasi tumbuh dan kembangnya siklus kehidupan yang dapat mengimbangi kebutuhan nutrisi atau energi yang diperlukan manusia dan pertambahannya. Terbukanya peluang penyeimbangan kebutuhan karena pertambahan penduduk adalah akibat dimungkinkannya pertambahan siklus kehidupan yang dipicu oleh kemampuan pertambahan siklus ruang dalam tanah dengan menggunakan kompos yang bersumber dari pertambahan produksi biomassa di muka bumi ini, yang juga dibangun oleh generator siklus ruang pada skala makro berupa tanaman, pepohonan dan semak belukar yang beragam ukuran, bentuk dan ketinggian dalam biosfer di atas permukaan bumi.
11. Rancangan Penerapan
Rancangan penanaman sumber biomassa dan percepatannya, serta pengelolaannya menjadi generator siklus ruang merupakan langkah awal paling penting untuk meningkatkan kegiatan pertanian dan produktivitasnya, untuk menjamin ketersediaan pasokan pangan dan energi bagi umat manusia. Teknik pengomposan, saung kompos dan pembudayaan pembuatan dan penggunaan kompos secara mandiri (pada lokasi yang terdistribusi) adalah langkah strategis yang harus digarap dengan baik. Demikian juga upaya memperkaya jenis dan ukuran tanaman di hutan dan kebun yang juga merupakan generator siklus ruang pada skala makro harus dijadikan rujukan utama pengelolaannya. Dengan ketiga fungsinya sebagai generator siklus oksigen, siklus air dan siklus biomassa, ruang hutan dan semak belukar benar-benar merupakan infrastruktur alam yang sangat menentukan dan harus menjadi prioritas penataan sistem pertanian dan pembudayaannya.
Demikianlah dalam kerangka pikir kesinambungan, teknologi intensifikasi proses yang digagas penulis di atas hanyalah memberikan masukan untuk mendapatkan rujukan prosedur kerja, menyangkut masalah teknis dan tampilan fisik semata. Akan tetapi aplikasi secara lebih menyeluruh akan memerlukan rujukan tentang keutuhan aktivitas semua sektor yang ada, yang tentunya harus sejalan dengan upaya pengembangan kelembagaan upaya tani yang seharusnya. Juga memerlukan rujukan upaya inisiatif pengembangan yang harus sejalan dengan rencana pengembangan pembudayaan upaya tani yang seharusnya juga. Hal ini merupakan arah pengembangan pasca-industri yang menggali kembali nilai dasar pertanian untuk penguatan dan penyempurnaan aktivitas perindustrian. Tentunya hal ini akan menjadi peluang besar bagi peran Indonesia dengan konsep alam cerdas dan kearifan budayanya yang sejalan dengan itu.
12. Menerapkan Tani Ramah Lingkungan di Rumah, Kota dan Desa
Lebih lanjut dengan adanya kenyataan ujicoba pertanian di pot yang selalu lebih baik, karena memang rancangan paling sempurna antara tanaman dengan bioreaktornya akan diperoleh dalam pot sementara di lapangan akan melibatkan lebih banyak lagi faktor lain yang akan berpengaruh. Pada kenyataan penggunaan teknologi intensifikasi proses ini di pot mampu memberikan peningkatan produktivitas yang sangat berarti hingga 10 kalinya adalah sesuatu yang bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan gagasan pertanian produktif baru, yang lebih dapat diandalkan, lebih mandiri dengan sumber pasokan, dan lebih menjamin kesinambungan. Maksud tersebut memerlukan perancangan gagasan yang lebih menyeluruh dengan pola pikir yang telah diubah. Memanfaatkan sampah kota untuk kompos, dan menggunakan komposnya untuk pertanian di pot dan dilaksanakan juga oleh masyarakat kota, dan bukan saja untuk maksud estetika atau bahan racikan obat atau bahan bumbu makanan tetapi untuk menjaga ketersediaan dan keanekaragaman pangan sebagai bagian dari program ketahanan pangan dan kesehatan di kota, maka sesungguhnya penulis sedang mulai membangun kembali suatu budaya pertanian kota yang baru, baru dari sisi argumentasi ilmiah namun lebih sesuai dengan kearifan budaya dan kecerdasan lokal yang ada.
Pengembangan pertanian produktif di pot bukan saja membuka peluang pembudayaan pertanian di kota, tetapi juga membawa kegiatan produktif secara terdistribusi ke wilayah konsumen, sehingga prinsip production on demand dapat juga dikembangkan secara multiskala, ke skala yang lebih luas. Demikian juga kearifan lokal budaya Sunda yang menunjuk leuweung sebagai infrastruktur alam menjadi lebih realistis, karena akan lebih banyak lahan pertanian tersedia yang alih fungsinya justru untuk penguatan infrastruktur alam menjadi hutan dan semak belukar atau leuweung, yang bisa diterapkan secara lebih terdistribusi baik di dataran tinggi, rendah maupun perkotaan. Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak, atau no forest, no water, no future.
13. Kesimpulan
Penegakan asas-asas pembangunan lingkungan hidup merupakan langkah awal dari upaya pembangunan secara menyeluruh dan berkesinambungan di semua sektor pembangunan, bukan sekedar pembangunan sektoral.
Asas-asas pembangunan lingkungan hidup bersumber dari hipotesa keilmuan yang menjunjung tinggi keyakinan nilai Kasihsayang dan Kemahaadilan Allah yang Mahakuasa : bertambahnya manusia harus diimbangi dengan bertambahnya tanaman dan binatang atas dasar pengembangan siklus ruang dan siklus kehidupan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keterkaitan alami, hayati, dan insani.
Membangun Struktur Fisik Ekosistem, Kelembagaan Pemberdayaan dan Pembudayaan dalam kerangka pikir kesinambungan memerlukan komitmen dan kerja nyata semua pihak dalam upaya penegakan kegiatan olah lahan yang ramah lingkungan:
o Memulihkan infrastruktur alam untuk menjamin kesinambungan, ketersediaan dan kemanfaatan daur alami air, udara dan biomassa agar siklus ruang dan siklus kehidupan berlangsung menunjang keandalan kinerja pertanian menyediakan pangan, papan dan energi.
o Menggunakan secara maksimal bahan lokal yang strategis seperti kompos dan mikroorganisme lokal serta penguasaan ilmunya untuk membangun kembali jati diri dan kemandirian pertanian.
o Menggunakan potensi keanekaragaman hayati untuk keandalan ketersediaan, manfaat dan kesinambungan.
o Revitalisasi organisasi dan pengembangan kelembagaan pada semua tahap kegiatan pertanian untuk meningkatkan kecepatan, ketepatan dan kecermatan layanan kerja, mencakup semua aktivitas sektor secara menyeluruh sehingga mampu mengantisipasi kompleksitas permasalahan dengan upaya penyempurnaan yang berkelanjutan.
o Mengelola secara seksama potensi pasar domestik dan upaya cerdas untuk menembus pasar dunia.
o Membangun keterbagian yang cerdas dan berkearifan antara kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan maupun bahan energi terbarukan.
o Membangun metodologi pertanian adaptif yang sesuai dengan kegiatan pertanian di luar Pulau Jawa yang kurang penduduk dengan di pulau Jawa yang rapat penduduk, antara tani rakyat dalam skala keluarga dengan usaha tani dalam skala perusahaan.
o Melakukan upaya pembudayaan kembali kegiatan pertanian pada berbagai lapisan masyarakat dan wilayah di Indonesia di desa maupun di kota sebagai arah peradaban pasca-industri
Perlunya Pendidikan Lingkungan Hidup menunjukkan harapan kuat dari semua pihak agar mampu membangun kenyataan perilaku sehari-hari generasi barunya menjadi lebih pro-lingkungan, pro-kehidupan, dan pro-kemanusian sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu keberadaannya sehingga lebih mampu menjamin kesinambungan peradaban kemanusiaan.
Identifikasi konsep-konsep alamnya yang cerdas dan kearifan budaya lokalnya yang sejalan akan memahamkan generasi baru Indonesia pada wawasan lingkungan alam, kehidupan dan kemanusiaannya secara praktis dan kreatif pada skala individu, keluarga, kota, negara, bahkan global sehingga lebih mampu menciptakan pemecahan masalah lingkungan yang dihadapinya, serta membangun kembali kualitas kehidupan dan kesejahteraannya secara nyata dan berkelanjutan, sebagai wawasan kebangsaan baru Indonesia.
Sumber Pustaka
1. Mubiar Purwasasmita, “Konsep Teknologi”, ITB, 1990.
2. Mubiar Purwasasmita, ”Kajian Fenomenologi Nilai”, Pascasajana UPI, 2000.
3. Mubiar Purwasasmita, ”Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal”, Seminar Teknik Kimia Suhadi Reksowardoyo, Bandung, Desember 2007.
4. Mubiar Purwasasmita, ”Wawasan Lingkungan Hidup Kota Bandung”, Semiloka Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup untuk sekolah dasar dan menengah sekota Bandung, UNPAS, 2008.
5. Mubiar Purwasasmita,” Menerapkan Intensifikasi Proses (PI) dan Produksi yang Berkesepadanan (POD) dalam bidang Pertanian”, Teknik Kimia ITB, 2009.
6. Mubiar Purwasasmita, “System of Rice of Rice Intensification (SRI) : Olah lahan sebagai Bioreaktor- Menerapkan Process Intensification dan Production on Demand dalam Bidang pertanian”, Bahan Seminar yang disampaikan di BALITPA Bogor, Kamis,24 Mei 2007.
7. Mubiar Purwasasmita, ”Wanatani - Upaya Konservasi DAS Hulu Melalui Pemberdayaan Kelompok Tani”, Lokakarya PLA - Departemen Pertanian, SOLO 15 April 2008.
8. Mubiar Purwasasmita, Hutan dan Semak belukar Infrastruktur Alam, Ciomas-Ciamis 2009.
9. Settle,W., “Living Soil, Training exercise for integrated soils management”, 2000.
10. Christian V. Stevens and Roland Verhe, “Renewable Bioresources, Scope and Modification for non-food application”, Wiley, 2004.
11. P Morrisey, JM Dow, GL Mark, FO Gary, “Are microbe at the root of a solution to world food production : Rational exploitation of interactions between microbes and plants can help to transform agriculture”, European Molecular Biology Organization Reports vol.5, No. 10, 2004.
12. N. Kockmann, “Transport Phenomena in Micro Process Engineering”, Springer-Verlag, Berlin Haidelberg, 2008.
13. Stankievics, Moulijn, “Re-engineering the Chemical Processing Plant: Process Intensification” , Marcel Dekker Inc, New York, 2004.
Ucapan terima kasih:
Disampaikan kepada teman-teman, lembaga swadaya masyarakat dan berbagai pihak yang secara konsisten memelopori dan memberikan pemahaman baru tentang keterkaitan alami, hayati, dan insani di berbagai pelosok Indonesia melalui penyebarluasan kegiatan tani ramah lingkungan. *
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home