Waspadai dan Cegah Muntaber
Muntaber mengganas di Karawang, Kec. Telukjambe, Desa Karangligar, Dusun Pangasinan. Sudah 84 orang yang menderita dan telah merenggut nyawa anak-anak. Di daerah lain, yaitu di Sukabumi Kec. Cisolok, muntaber menyerang 28 orang, dari anak-anak hingga orang dewasa. Demikian tulis koran PR (16/8). Selama kemarau ini sangat boleh jadi terjadi juga hal serupa di daerah-daerah lain yang krisis air minum. Setiap hari di berbagai media massa selalu saja ada berita kekeringan yang umumnya terjadi di Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah Utara ke Selatan.
Wabah yang disebabkan oleh mikroba seperti bakteri E. coli itu terjadi lantaran buruknya sanitasi dan masyarakat terbiasa membuang tinjanya di tanah terbuka, di air sungai, kolam, atau selokan. Seperti biasa, kemarau adalah saat-saat sulit air, khususnya air untuk minum dan memasak. Debit air sumur menurun bahkan sampai kering, mata air berkurang sehingga tak mampu lagi memenuhi seluruh penduduk setempat. Pada saat yang sama air sungai pun surut dan bahkan menghitam berbau busuk sehingga tak layak lagi dijadikan air pencuci pring, sendok, dll apalagi digunakan sebagai sumber air minum.
Sebagai penyakit perut (gastro enteritis), muntaber selalu ditransmisikan lewat feses (tinja) dan rute penularannya disebut rute amul (anus-mulut), yakni dari tinja penderita lalu lewat makanan dan minuman (air minum) atau air untuk menyikat gigi, masuk ke mulut lalu ke perut. Selain itu, penularannya bisa juga melalui jari tangan penderita lalu langsung ke orang sehat. Penularan seperti ini biasanya lewat makanan-minuman yang sanitasinya buruk atau bahkan sama sekali tidak mengindahkan sanitasi akibat kurang ilmu dan ingin untung besar dalam berdagang. Tak jarang air yang digunakan tidak memenuhi syarat baku mutu air minum dan tanpa dimasak terlebih dulu.
Lantaran kondisi sosial ekonomi masyarakat banyak yang demikian, maka ini menjadi tugas besar Dinas Kesehatan untuk mengintensifkan program sanitasi dan memonitoring proses pembuatan makanan-minuman. Jika tidak bisa karena kesulitan dana atau kekurangan tenaga sanitarian, bisa saja dilakukan pengawasan di sekolah-sekolah, terutama di SD. Memang tidak boleh mengambil generalisasi di sini, tetapi ada banyak kasus bahwa pedagang makanan minuman kurang peduli pada aspek sanitasi. Tak sedikit yang menggelar dagangannya terbuka begitu saja sehingga dikerubuti lalat dan debu. Mangkok dan gelas pun dicuci hanya dengan air seember kecil dan tak diganti-ganti selama sehari penuh lantaran sulit air bersih.
Upaya preventif
Selain upaya kuratif yang menjadi tugas Puskemas dan rumah sakit, tindakan preventif hendaklah mulai ditempuh. Malah seharusnya sudah berjalan secara rutin karena penyakit ini selalu saja melonjak kejadiannya pada musim kemarau. Berbagai penyuluhan lewat Puskesmas bisa dilakukan secara terjadwal atau lakukan saja jemput bola, yaitu tenaga sanitarian datang ke rumah penduduk dan memberikan penyuluhan kepada, misalnya, lima kepala keluarga yang berdekatan. Jika ini dilaksanakan, dan biasanya cara ini tepat diterapkan di desa-desa, bukan di kota, maka insidensi muntaber dan penyakit menular lewat air lainnya bisa dicegah atau minimal dikurangi.
Untuk mengurangi insidensinya itu, masyarakat harus dipahamkan dulu cara mengolah air secara sederhana agar mati bakteri patogennya. Penyuluhan ini mesti rutin dilaksanakan, seminim apapun anggarannya. Sebab, masalah penyehatan lingkungan dan sanitasi dasar ini sangat menentukan kondisi kesehatan masyarakat pada masa depan. Bagaimana mungkin mencapai Jawa Barat Sehat jika terus saja terjadi muntaber, tifus, apalagi kolera, penyakit yang sangat berbahaya karena penderitanya bisa dehidrasi hanya dalam tempo sejam dua jam, lalu segera meninggal. Apalagi tolokukur mutu kesehatan suatu negara adalah pada aspek sanitasi dasarnya, yaitu pada penyakit menular, dan bukan pada penyakit degeneratif yang banyak diderita orang kota.
Jika pemerintah daerah setempat, dalam hal ini Dinas Kesehatan tak jua mau bergerak karena kehabisan tenaga dan dana, cara sederhana bisa ditempuh seperti membuat poster yang komunikatif, bukan yang banyak berisi istilah asing, penjelasannya tidak menarik dan bertele-tele. Pada dasarnya masyarakat desa di Indonesia, terutama yang di Pulau Jawa, akan dengan mudah diajak dan dipengaruhi untuk turut serta dalam pelatihan hidup saniter jika dipahamkan bahwa kegiatan itu untuk kepentingan dirinya dan tanpa dipungut bayaran, sekecil apapun itu. Karakter sosiologi paternalistik ini terbukti membantu dalam penyebaran dan perluasan pendidikan masyarakat desa dan warga pedalaman dengan melibatkan pengaruh wibawa tetua adat dan tetua desanya.
Sebagai upaya preventif karena kasusnya telah meluas, upaya pembasmian bakteri bisa dilaksanakan dengan cara sederhana dan murah, yaitu membubuhkan kaporit dalam air baku untuk keperluan mencuci sayur, beras, piring, sendok, dan air untuk berkumur-kumur sikat gigi. Cara tertua, yaitu pendidihan air selama sepuluh menit sudah pula dipahami masyarakat. Hanya saja, agar lebih efektif, selain dididihkan air baku itu pun diolah dengan cara sederhana menggunakan filter pasir dan biji kelor. Sebelum dialirkan ke filter, air sungai atau air kolam itu diberi tawas dulu lantas airnya dialirkan ke filter dan hasilnya ditampung di ember atau gentong bersih. Air di gentong ini lalu diberi kaporit dan diaduk-aduk. Sejam kemudian air tersebut sudah bisa digunakan untuk mencuci sayur, nasi, dll. Tanpa dididihkan pun air tersebut sudah layak diminum karena kaporitnya mampu membunuh bakteri. Namun demikian, demi upaya preventif, air itu sebaiknya dididihkan lagi selama sepuluh menit.
Karena harus keluar uang untuk membuat filter dan membeli zat kimia, cara ini sebaiknya ditempuh secara gotong royong dengan melibatkan lima kepala keluarga yang rumahnya berdekatan. Biaya per umpinya akan lebih murah dan operasi-rawatnya dilakukan secara bergilir, terutama untuk pembersihan filter yang mampat. Keamanan dan kemudahan dalam mencari air baku pun bisa digotong-royongi sekaligus bersilaturahmi. Jika semua penduduk desa menempuh cara ini maka bisa dipastikan kesehatan masyarakat di tingkat akar rumput akan tercapai tanpa perlu banyak dana dan tanpa keluar banyak tenaga. Malah sanitarian dan pegawai di Dinas Kesehatan atau pemerintah daerah diuntungkan lantaran program penyehatan lingkungan dan sanitasinya berjalan lancar dan berhasil dengan mudah.
Tak ada kata terlambat untuk memulai dan mencoba apa yang belum diterapkan atau apa yang diterapkan secara setengah-setengah dan tidak taat asas. Sampai kapan pun, kesehatan adalah harta yang tak ternilai harganya, begitu ujaran kaum bijak bestari. *
Gede H. Cahyana
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home