Gede on Water

No life without water, menapak jejak air, mengalir sampai jauh.

Rabu, Juli 12, 2006

Indikator Kinerja PDAM

Tulisan ini pernah dimuat di website milik radio Mara Bandung.

Menurut berita koran Kompas, 5 Juli 2006 ini, PDAM Kota Bandung akan menaikkan tarif airnya lagi. Bagaimana tanggapan DPRD? Adakah yang menentang atau oke-oke saja? PDAM ini pernah juga membuat siasat lain, yakni dengan cara mengubah golongan pelanggannya sehingga rekeningnya naik walaupun volume air yang digunakannya tetap. Dampaknya, banyak juga yang melayangkan surat protes ke media massa cetak dan elektronik khususnya radio. Malah sejumlah diskusi digelar oleh LSM yang peduli konsumen dan anti privatisasi air. Dalam setiap diskusi itu melesat pendapat bahwa pelanggan tak keberatan tarifnya naik asalkan kualitas layanannya juga naik. Jangan tarifnya saja yang naik tapi makin buruk layanannya. Jangankan makin buruk, tetap saja kinerjanya tidak boleh. Harus naik kinerjanya.

Merujuk pada anggapan dan usulan tersebut perlu dicarikan parameter apa saja yang bisa dijadikan tolokukur kinerja PDAM. Parameter ini bisa dikupas dalam lingkup sempit saja tapi bisa juga luas berkembang jika hendak dirinci satu per satu. Berikut ini dituliskan apa dan bagaimana caranya menilai kinerja PDAM secara garis besar. Pisau bedah yang digunakan adalah piramid PDAM yang terdiri atas: P = Pegawai, D = Desain, A = Area servis, dan M = Manajemen.

Piramid PDAM
The man behind the gun. The right people on the right place. Ungkapan tersebut kerapkali terdengar ketika membicarakan perusahaan atau tata kerja di kantor. Inilah pentingnya nilai P atau Pegawai pada perbaikan kinerja PDAM. Ia terkait dengan keterampilan, keterlatihan, dan keterdidikan. Sebagai perusahaan air, pelanggan bisa menilainya dari sudut P khususnya keterlibatan sarjana Teknik Lingkungan di tubuh PDAM. Adakah sarjana ini di sana? Jika ada, bagaimana kualitasnya, apakah mampu menangani sisi teknis mulai dari sumber air, transmisi, instalasi, distribusi, evaluasi, rehabilitasi, perluasan jaringan, serta supervisor dan evaluator jasa konsultan? Secara sederhana bisa disebutkan, setiap 4.000 unit pelanggan dibutuhkan satu sarjana Teknik Lingkungan dengan kualifikasi seperti di atas.

Namun faktanya, dari 318 PDAM di Indonesia yang sudah menjadi anggota Perpamsi belum semuanya memiliki sarjana yang keahliannya di bidang air. Kalaupun ada, masih belum memenuhi kualifikasi seperti disebutkan di atas. Tentu saja ini masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Itu sebabnya silakan pelanggan “menyelidiki” apakah PDAM-nya sudah berkualifikasi demikian. Setelah itu barulah dicek sarjana pendukung lainnya seperti ekonomi, Teknik Sipil, manajemen dan sejumlah ahli madya. Selanjutnya ialah lulusan SMU atau SMK di bidangnya. Pegawai di bagian klining servis (klinser) pun boleh jadi suatu saat nanti adalah lulusan SMU/SMK. Meskipun demikian, pegawai terbawah dalam struktur organisasi ini harus tetap diizinkan berkembang ke jenjang yang lebih tinggi jika mereka sekolah lagi dan lulus. Jadi, adanya kejelasan jenjang karir pegawai juga menjadi tolokukur kinerja PDAM.

Indikator atau pilar kedua adalah D, Desain. Baik buruknya layanan bergantung pada desain, baik itu instalasi, transmisi dan distribusi. Dalam setiap desain baru maupun pengembangan, juga pada evaluasi kepuasan pelanggan lewat kuesioner, peran sarjana Teknik Lingkungan demikian besar. Bagaimanapun, penilaian atas desain ini langsung menukik pada kualitas air yang sangat mempengaruhi opini pelanggan terhadap PDAM. Mayoritas protes pelanggan berkaitan dengan kesalahan, keteledoran, dan ketakakuratan desain instalasi, posisi reservoir, dan distribusi. Desain yang tepat akan menurunkan pencemar ke tingkat yang disyaratkan peraturan kualitas air minum, yaitu No. 907/Menkes/SK/VII/2002.

Perihal tepat tidaknya desain yang diterapkan PDAM, ini bergantung pada evaluasi kualitas sumber air bakunya. Pelanggan bisa saja mewajibkan PDAM untuk merilis laporan kualitas air bakunya di media massa secara berkala dan ini dinilai oleh tim pemantau yang dipilih pelanggan. Apalagi pada masa sekarang ini kualitas air baku sudah makin buruk lantaran tercemar, baik oleh pestisida dari sawah maupun dari limbah domestik dan pabrik. Yang juga penting dalam desain adalah kapasitas olahnya apakah sesuai dengan dimensi unit pengolah yang dibuatnya. Apakah unit tersebut mampu menangani kualitas air terburuk yang mungkin timbul, misalnya ketika banjir besar atau tercemar berat?

Yang tak kalah penting adalah indikator kualitas air olahan di reservoir PDAM dan di rumah-rumah pelanggan. Idealnya, di kedua tempat ini kualitas airnya sama bersih. Hanya saja, kebanyakan PDAM belum memenuhi kriteria tersebut lantaran kondisi jaringan distribusinya buruk sehingga air tanah dan air selokan masuk ke dalam pipa lalu ke perut pelanggan. Inilah salah satu sumber ancaman tifus, disentri, diare khususnya pada anak-anak yang menyikat gigi menggunakan air tersebut.

Berikutnya adalah Area Servis. Makin luas area servisnya makin bagus nilainya apalagi jika dikaitkan dengan Millenium Development Goals (MDG). Tak satu pun PDAM mampu melayani 100% areas servisnya dengan berbagai alasan. Jangankan untuk meluaskannya, melayani dengan sempurna palanggannya saja belum mampu. Akibatnya terjadi ketimpangan servis. Ada pelanggan yang 24 jam penuh dipasok airnya, bahkan dengan tekanan yang mencukupi sesuai standar, tapi ada juga yang terpaksa digilir dan hanya mendapatkan air ketika malam hari saja. Ada lagi yang sejak awal berlangganan tak pernah sekalipun air PDAM mengucur dari krannya. Meter airnya sekadar menjadi monumen ketakberdayaan PDAM.

Yang terpenting di area servis dan menjadi tugas besar PDAM adalah desain jaringan distribusinya. Bagaimana caranya agar semua pelanggan, baik di daerah tinggi maupun di daerah rendah, baik yang dekat instalasi maupun yang terjauh, harus mendapatkan air sesuai dengan kebutuhan standarnya. Di sinilah kemampuan desain sarjana Teknik Lingkungan diuji. Semasih terjadi masalah klasik di daerah distribusi seperti di atas, belumlah layak mereka diberi label mumpuni. Pelanggan berhak menggugatnya, termasuk menggugat jajaran manajemennya apalagi jika dikaitkan dengan tarifnya yang terus naik.

Manajemen adalah indikator keempat, sebagai pemegang kendali PDAM. Tak hanya masalah kepegawaian, kejelasan karir, dan proses pengolahan yang dianggap penting tapi juga manajemen krisis. Di mana-mana di Indonesia posisi PDAM berada di ujung tanduk dalam arti sewaktu-waktu bisa menghadapi krisis air. Bahkan banyak PDAM yang sumber airnya berasal dari luar wilayahnya, dengan cara membeli. Jika terjadi pengambilalihan oleh pemerintah daerah setempat atas desakan warganya maka PDAM tersebut langsung krisis. Itu sebabnya PDAM ini tak bisa tenang dalam operasinya dan berupaya melakukan manajemen sumber daya air secara optimal. Namun belum banyak yang berhasil.

Manajemen distribusi pun masuk kategori kritis lantaran tak ada PDAM yang bebas dari kebocoran air, baik dalam arti harfiah maupun konotasi. Betapa banyak penyalahgunaan aset dan keuangan PDAM yang melibatkan orang dalam dan konsultan, kontraktor dan suppliernya. Demikian pula dengan manajemen sambungan baru, tes aliran dan kontrol meter air. Kalibrasi meter air juga harus dikelola rutin dan tercatat. Ini sangat penting agar tak ada meter air yang terlewatkan dalam kalibrasi dan sebaliknya ada yang baru saja dikalibrasi tapi dikalibrasi lagi.

Yang terakhir adalah manajemen tanggap, yakni mampu menangani setiap masalah dan laporan pelanggan, kapan pun dan di mana pun. Malam hari oke, lokasinya jauh pun tetap wajib diladeni. Manajemen harus mampu memotivasi pegawainya agar tidak ogah-ogahan demi prinsip solutif pada keluhan pelanggan. Begitu pun pengelolaan rekening, tanggal berapa petugas ke pelanggan agar jelas demi efisiensi kerja. Jangan terjadi petugas datang tapi pelanggan tak di rumah atau ketika pelanggan di rumah tapi petugas PDAM tidak datang. Sebaiknya dicarikan jadwal yang tepat bagi kedua belah pihak.

Apabila mayoritas indikator di atas sudah mampu dilaksanakan oleh PDAM, bolehlah pelanggan menilainya sebagai PDAM berkinerja tinggi. Begitu pun sebaliknya.*

Gede H. Cahyana