Gede on Water

No life without water, menapak jejak air, mengalir sampai jauh.

Minggu, Agustus 27, 2006

Mengulas Kinerja PDAM

Tak diduga dan tidak masuk akal. Begitu ungkapan warga setelah mengetahui betapa besar tunggakan pelanggan kepada PDAM Kota Bandung. Jumlahnya mencapai Rp 40 milyar rupiah. Dalam kasus-kasus tindak pidana seperti sambungan gelap yang melibatkan pegawai PDAM, sudah pula dilakukan pemecatan. Penunggak rekening dan sambungan gelap itu pun sudah diputus sehingga dari 143.000-an pelanggannya, sekarang tersisa 139.000-an unit. Ada 4.000-an pelanggan yang diputus, demikian kata Dirut PDAM. Dalam diskusi Sabtu (12/8) yang dikemas oleh radio Mara Bandung itu terungkap pula bahwa banyak sekali terjadi kehilangan air.

Kehilangan air (unaccounted for water) tersebut tak hanya terjadi di PDAM Kota Bandung tapi juga di semua PDAM. Kisaran angkanya antara 20% dan 70%, dengan rerata 45%. Angka ini setara dengan 82% air yang terjual, tetapi tidak selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterima PDAM akibat berbagai manipulasi yang terjadi. Ujud kehilangan air itu, yaitu beda antara volume air di meter induk dan volume total di meter pelanggan, bisa karena bocor fisik seperti pipa pecah, rembesan di reservoir, dan kerusakan peralatan di jaringan distribusi, bisa juga karena bocor nonfisik seperti ketakakuratan meter airnya atau karena salah baca dan salah administrasi.

Demi mengendalikan kehilangan air tersebut, termasuk mempertahankan kualitas air olahannya, sejumlah tindakan bisa dilakukan oleh PDAM. Di antaranya adalah mengelola daerah distribusinya dengan cara menyeimbangkan tekanan di sekujur sistemnya, baik yang terdekat dengan instalasi maupun yang terjauh, lewat zoning system. Tanggap darurat dalam perbaikan pipa dan responsif atas laporan masyarakat, juga menjadwalkan secara rutin perawatan dan kendali pipa. Hal-hal tersebut dan sejumlah cara lainnya lagi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang disebut reformasi rekayasa dan reformasi kekaryaan.

Berkaitan dengan kinerja instalasinya, sampai saat ini teknologi yang diterapkan PDAM untuk mengolah air masih menggunakan cara konvensional, belum menggunakan teknologi membran. Fokusnya pun sebatas kualitas fisika dan bakteriologi, tidak banyak memperhatikan aspek kimianya padahal kualitas air bakunya menurun dan potensial tercemari limbah pertanian dan rumah tangga, selain limbah industri. Andaipun ada yang diolah, itu pun sekadar reduksi besi dan mangan. Bahkan bisa terjadi, meskipun kadar besi dan mangannya melebihi baku mutu air minum, tetap saja PDAM tidak menyediakan unit aerasinya.

Masalah lainnya adalah pencemar berupa logam berat dan pestisida yang kerapkali menimbulkan kekeliruan dalam interpretasinya. Apalagi sering diperoleh nilai pencemar organik dalam ujud lump parameter BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau COD (Chemical Oxygen Demand) yang sangat kecil, namun sebenarnya ada zat yang tak dideteksi oleh parameter tersebut tapi berbahaya, yaitu zat xenobiotik. Begitu pun sedimen sungainya jarang dianalisis padahal konsentrasi polutannya bisa ratusan kali lebih besar daripada di dalam air. Lekatan pencemar di sedimen sungai itu bisa lepas lagi (flushing) ketika hujan sehingga konsentrasinya di dalam air membesar.

Selanjutnya adalah reformasi kekaryaan yang menyangkut profesionalisme karyawan PDAM. Tak dimungkiri, mulai tingkat terbawah sampai manajemen teratas ada saja masalahnya. Di tingkat atas, yakni di level direksi, campur tangan kepala daerah masih terlampau tinggi sehingga selalu saja jajaran direksinya adalah orang-orang dekat kepala daerah. Mereka umumnya berasal dari (mantan) pejabat yang berkarir di sejumlah dinas. Tidak salah memang, tapi berpotensi memperburuk kondisi PDAM sebab dewan direksinya tidak didasarkan atas asas kapabilitas dan pengalaman dalam memimpin perusahaan air. Tidak mengherankan pula jika akhirnya muncul intrik dan menimbulkan ketegangan di tingkat elitenya.

Itu sebabnya, diusulkan agar formula pemilihan dan pengangkatan dewan direksi diubah agar orang yang mengemban amanat itu betul-betul orang yang familiar di sektor air bersih dan paham apa tugasnya. Pemilihan itu pun haruslah didekati dengan formula profesional dan bersaing bebas tidak main uang, bebas money politics. Selain bervisi marketing, direksi juga wajib memahami sistem pengolahan air dan teruji integritasnya serta bebas moral hazard. Selain reformasi internal tersebut, ada juga cara lain untuk meningkatkan profesionalitas sektor air bersih ini, yaitu penswastaan (privatisasi). Tetapi sejak awal patut dicatat, upaya ini tak sekadar kemitraan atau kerja sama seperti yang diterapkan PAM Jaya Jakarta dengan mitra asingnya, juga bukan seperti yang terjadi di Pulau Batam.

Tampaklah bahwa semua sisi manajemen PDAM mesti dievaluasi, mulai dari aspek rekayasanya sampai ke integritas karyawannya. Lantas, satu hal yang paling rawan adalah soal kehilangan air, aspek klasik yang menghantui PDAM. Ditambah lagi dengan rendahnya kinerja di jajaran direksi dan di level stafnya, termasuk rendahnya tarif air dan sering terjadi tarik ulur dengan DPRD setempat. Akibatnya bisa diduga, hingga kini PDAM tak bisa berkembang optimal, bahkan ada yang turun grafiknya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PDAM perlu melibatkan “swasta”. Kata swasta ini diberi tanda kutip, artinya perlu syarat ketat. Meskipun PDAM Kota Bandung menolak upaya penswastaan seperti terungkap dalam diskusi di radio tersebut, upaya ini sebetulnya bisa meringankan beban finansial dalam investasinya. Lantaran rendah tarifnya, PDAM sudah tak mampu lagi memodifikasi dan menginovasi unit pengolahnya seperti tuntutan reformasi rekayasa dan tipis kemungkinannya mencapai cita-cita paradigma sehat (Jawa Barat Sehat) termasuk sulit mencapai Millenium Development Goals, 2015 (Dasawarsa Air Bersih Dunia Tahap II).

Sekali lagi, penswastaan yang dimaksud di sini adalah upaya antisipasi mutu air demi kesehatan masyarakat sekaligus memutus tali monopoli agar terjadi persaingan sehat, saling untung antara produsen dan konsumen. Syaratnya sangat tegas: privatisasi itu harus berjalan pada rel pasal sosioekologis, pasal 33 UUD 1945. Apabila tidak taat asas, maka peninjauan ulang bisa saja dilakukan. Dengan cara demikian diharapkan kinerja PDAM bisa naik ke titik optimalnya. *